Qadha Shalat

CARA MENGERJAKAN QADHA SHALAT :
1. Sunat menertibkan shalat yang tertinggal misalnya, mengqhada shalat subuh sebelum shalat duhur, dan seterusnya. Karena udzur sebelum shalat ada’ (tepat waktunya) yang tidak dikhawatirkan tidak kehabisan waktu.
Menurut kaol mu’tamad, walaupun dikhawatirkan tertinggal shalat berjamaah, qhadha harus tetap didahulukan.(sebagaimana sunnah rasulullah pada waktu perang khandak. Beliau mendahulukan qadha shalat ashar sebelum shalat magrib, padahal waktu itu matahari sudah terbenam).
2. Bila shalat bukan tertinggal karena udzur, maka wajib mendahulukan qadha sebelum shalat hadir (ada’)
3. Apabila khawatir kehabisan waktu bagi shalat hadir-sebagian rakatnya- sekalipun sesaat diluar waktu yang telah ditentukan, ia wajib memulainya dengan shalat hadir.
4. Wajib mendahulukan qadha shalat yang tertinggal bukan karena udzur daripada shalat yang tertinggal karena udzur, walaupun tidak tertib, sebab hukumnya tertib itu hukumnya sunat. Sedangkan menyegerakan qadha tanpa udzur, adalah wajib.
5. disunatkan mengakhirkan shalat sunat rawatib daripada mengqadha solat yang tertinggal karena udzur.
6. Wajib mengakhirkan shalat rawatib daripada mengqadha shalat yang tertinggal tanpa udzur.

PERINGATAN :
Barang siapa yang meninggal dunia dan ia meninggalkan shalat fardu, (hukumnya sebagai berikut ):
1.Shalatnya tidak perlu di qadhakan dan tidak perlu pula difidyahkan
2.menurut pendapat yang lain, shalat boleh diqadhakan  baik mayat itu berwasiat ataupun tidak. Syekh Ubadi telah menceritakan pendapat ini dari imam syafi’I, berdasarkan hadits bukharidan lainnya. Syekh Subki pernah mengqadakan  shalat sebagian kerabatnya yang meninggal dunia.
Menurut sebagian ulama, boleh difidyahkan oleh satu mud untuk setiap waktu shalat fardu. Sebagaimana jawaban  nabi Muhammad saw kepada sahabatnya yang menanyakan cara berbuat baik kepada orang tua yang telah meninggal dunia, yaitu :
“Berbuat baiklah kepada kedua orang tua setelah mereka tiada, hendaklah kamu shalat (qadha)untuk keduanya beserta shalat mud an berpuasalah (qadha) untuknya beserta puasamu”. (riwayat daruqutni)
orang tua (bapak dan ibu), kakek serta orang yang diwasiatinya,(mengurus anak)wajib memerintahkan anak laki-lakidan perempuan yang sudah tamyiz-yaitu sudah bias makan, minum, dan bersuci sendiri- untuk mengerjakan ibadah kepada alloh (misalnya, shalat, puasa, mengaji, dan sebagainya). Demikian pula pemilik hamba sahaya, wajib memerintahkan shalat kepada hamba sahanya, termasuk qadha berikut persyaratanya, yaitu apabila mereka telah berumur tujuh taun atau sudah tamyiz sebelumnya (sebelum berumur 7 tahun). Apabila mereka tidak mengerjakanya, hendaklah perintah itu disertai sedikit kekerasan.
Orang tua wali wajib memukul anak yang telah berumur 10 tahumn dengan pukulan yang tidak melukai, bila anak tersebut meningggalkan shalat, sekalipun qadha atau meninggalkan salah satu syarat dari syarat-syarat shalat. Hal ini berdasarkan hadits sahih sebagai berikut : “Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat bila mereka telah berumur 7 tahun, dan bila mereka telah berumur 10 tahun meninggalkan shalat, maka pukulah ia !”.
Demikian pula puasa bila ia sudah kuat. Anak-anak harus diperintahkan berpuasa bila sudah berumur 7 tahun. Bila sudah berumur 10 tahun masih tidak berpuasa, maka pukulah sebagaimana perintah shalat. Hikmahnya ialah mendidik agar mereka membiasakan  beribadah dan tidak meningalkanya. Imam Adzra’I telah membahas masalah memerintah hamba sahaya yang masih kecil serta kafir namun pernah membaca dua kalimah syahadat, maka memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat dan puasa hukumnya adalah sunat. Tetapi tuanya wajib menganjurkan agar ia  mengerjakan shalat dan puasa, tanpa memukulnya. Hal ini dimaksudkan supaya setelah balig anak itu dapat membiasakan shalat dan puasa, walaupun yang demikian bertentangan dengan qiyas.(menurut qiyas, hamba yang masih kecil dianggap kafir, kalau orang tuanya kafir).
Orang yang diwasiati mengurus anak, tuan(pemilik) hamba sahaya, dan pemuka kaum muslimin wajib melarang anak-anak melakukan pekerjaan haram:wajib mengerjakan hal-hal yang wajib dan sebagainya dari semua syariat islam yang bersifat lahiriyah, walaupun hukumnya sunat, misalnya bersiwak serta wajib pula memerintahkan atau mengerjakan yang tersebut tadi.
Kewajiban mendidik anak bagi orang-orang yan telah disebutkan di atas tidak boleh berhenti, kecuali bila anak-anak itu telah balig dan cerdik. Adapun biaya mempelajari syariat islam, seperti membaca Qur’an dan ilmu adab (etika), diambil dari hartanya(jika ada), (bila si anak itu tidak mampu), menjadi kewajiban ibunya.

PERINGATAN :
Imam Sam’ani menjelaskan perihal mendidik istri yang masih kecil tetapi masih mempunyai kedua orang tuanya. Kewajiban mendidiknya adalah tangung jawab kedua orang tuanya. ( jika kedua orang tua nya meninggal ), menjadi kewajiban suwaminya. Wajib memukulnya jika ia  meninggalkan shalat). Hal ini berlaku pula bagi istri yang sudah dewasa. Demikianlah penjelasan Syekh Jamalul-islam Al-Bazari.
Guru kami mengatakan bahw hal (boleh memukul) itu jelas; kalau tidak, dikhawatirkan nusyuz. Menurut imam Zarkasyi, “Sunat memukulnya secara mutlak, baik terhadap istri yang masih kecil ataupun yang sudah dewasa.”
Yang pertama berkewajiban (mendidik anak), termasuk dalam hal melaksanakan perintah shalat, sebagimana perkatan para ulama, yaitu para bapak; agar mengajarkan kepada anak yang mumayiz, bahwa nabi kita Muhammad di utus dan dilahirkan di mekah dan meninggal serta dikebumikan di madinah.

1 comments:

M. S. Rosyidi said...

“Berbuat baiklah kepada kedua orang tua setelah mereka tiada, hendaklah kamu shalat (qadha)untuk keduanya beserta shalat mud an berpuasalah (qadha) untuknya beserta puasamu”. (riwayat daruqutni)....teks arabnya gimana ya...saya cari2 tidak ketemu

Post a Comment

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Macys Printable Coupons